Selasa, 27 Maret 2012

Komunikasi Politik


PROSES MAKETING POLITIK
Sakir

Marketing politik telah menjadi suatu fenomena, tidak hanya dalam ilmu politik, tetapi juga memunculkan beragam pertanyaan para marketer yang selama ini sudah terbiasa dalam konteks dunia usaha. Menurut O’Shaughnessy (2001), politik berbeda dengan produk retail, sehingga akan berbeda pula muatan yang ada di antara keduanya. Politik terkait erat dengan pernyataan sebuah nilai (value). Jadi, isu politik bukan sekedar produk yang diperdagangkan, melainkan menyangkut pula keterikatan simbol dan nilai yang menghubungkan individu-individu.  
Marketing politik adalah konsep permanen yang harus dilakukan terus-menerus oleh sebuah partai politik atau kontestan dalam membangun kepercayaan dan image politik. Membangun image politik ini hanya bisa dilakukan melalui hubungan jangka panjang, tidak hanya pada masa kampanye. Marketing politik harus dilihat secara komprehensif. Pertama, marketing politik lebih daripada sekadar komunikasi politik. Kedua, marketing politik diaplikasikan dalam seluruh proses organisasi partai politik. Ketiga, marketing politik menggunakan konsep marketing secara luas, tidak hanya terbatas pada teknik marketing, namun juga sampai strategi marketing, dari teknik publikasi, menawarkan ide dan program, dan desain produk sampai ke market intelligent serta pemrosesan infomasi. Keempat, marketing politik melibatkan banyak disiplin ilmu dalam pembahasannya, seperti sosiologi dan psikologi. Kelima, konsep marketing politik bisa diterapkan dalam berbagai situasi politik, mulai proses pemilu sampai proses lobi di parlemen.
Dengan demikian, marketing politik bukan dimaksudkan untuk “menjual” kontestan kepada publik, melainkan sebagai teknik untuk memelihara hubungan dengan publik agar tercipta hubungan dua arah yang langgeng.
Nursal dalam bukunya menyebutkan bahwa pemasaran politik adalah strategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih. Serangkaian makna politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih menjadi orientasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Pembentukan makna politis dalam konsep pemasaran politik yang dikembangkan oleh Nursal disebut sebagai model 9P, yaitu: positioning, policy, person, party, presentation, push marketing, pass marketing, pull marketing, dan polling.


A.    Strategic political marketing
Strategic political marketing merupakan proses menyusun nilai-nilai inti yang sesuai dengan aspirasi para pemilih tertentu, namun juga sesuai dengan visi misi dan sumberdaya kontestan pemilu. Strategic political marketing terdiri dari tahapan segmentating, targeting, dan positioning.
Partai politik atau kandidat yang ingin mengaplikasikan pemasaran politik secara efektif memerlukan riset. Disini riset (misalnya dalam bentuk polling), menjadi bahan dasar melakukan positioning sekaligus juga berfungsi untuk mengevaluasi pemasaran politik yang telah dilakukan. Riset disini juga bisa dipahami sebagai upaya pemetaan kekuatan politik partai.
Dalam bahasa yang sedikit berbeda namun sama dalam substansinya, Firmanzah mengemukakan bahwa segmentating atau pemetaan sangat penting dilakukan oleh partai politik mengingat partai politik diharapkan selalu hadir di tengah-tengah masyarakat dan menjawab berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Dalam terminologi long term campaign (kampanye jangka panjang yang mengarah pada pengertian kampanye politik) dan short term campaign (kampanye jangka pendek yang mengarah pada pengertian kampanye pemilu) yang sudah dijelaskan di depan. Partai politik semestinya tidak sekedar melakukan kampanye jangka pendek menjelang pemilu dengan jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh pelaksana pemilu, namun harus senantiasa menjaga image dengan pemilu politik jangka panjang, sehingga kehadirannya selalu dirasakan oleh masyarakat.

  1. Segmentating
Segmentating merupakan upaya untuk mengenali karakteristik tiap kelompok pasar, meskipun nantinya tidak seluruh kelompok pasar yang diidentifikasi tersebut dijadikan sebagai kelompok yang disasar (targeting). Segmentating dapat dilakukan sebelum atau sesudah produk politik dibuat.
Tahap-tahap yang harus dilakukan dalam segmentating pemasaran politik adalah:
a.       Mengidentifikasi dasar-dasar atau kategorisasi yang akan digunakan sebagai basis segmentating atau pemetaan pemilih.
b.      Menyusun profil berdasarkan hasil segmentating pemilih. Profil ini menyangkut tiga hal, yaitu: profil tentang pendukung partai politik (konstituen, simpatisan, dan vote getter), profil tentang massa mengambang yang mungkin diraih suaranya termasuk pemilih pemula, dan profil tentang pendukung partai lain.

Metode segmentasi pemilih
Dasar Segmentasi
Detil Penjelasan
Geografi
Masyarakat dapat disegmentasikan berdasarkan geografis dan kerapatan (density) populasi. Misalnya produk dan jasa yang dibutuhkan oleh orang yang tinggal di pedesaan akan berbeda dengan produk politik yang dibutuhkan oleh orang perkotaan.
Demografi
Konsumen politik dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin, pendapatan, pendidikan, pekerjaan dan kelas sosial. Masing-masing kategori memiliki karakteristik yang berbeda tentang isu politik satu dengan yang lain. Sehingga perlu untuk dikelompokkan berdasarkan kriteria demografi.
Psychografi
Memberikan tambahan metode segmentasi berdasarkan geografi. Dalam metode ini, segmentasi dilakukan berdasarkan kebiasaan, life style, dan perilaku yang mungkin terkait dengan isu-isu politik.
Perilaku (behaviour)
Masyarakat dapat dikelompokkan dan dibedakan berdasarkan proses pengambilan keputusan, intensitas ketertarikan dan keterlibatan dengan isu politik, loyalitas dan perhatian terhadap permasalahan politik.
Sosial Budaya
Pengelompokkan masyarakat dapat dilakukan melalui karakteristik sosial dan budaya. Klasifikasi seperti budaya, suku, etnis dan ritual spesifik seringkali membedakan intensitas, kepentingan dan perilaku terhadap isu-isu politik.
Sebab-Akibat
Metode ini mengelompokkan masyarakat berdasarkan perilaku yang muncul dari isu-isu politik. Sebab-akibat ini melandaskan metode pengelompokkan berdasarkan perspektif pemilih (voters). Pemilih dapat dikelompokkan berdasarkan pemilih rasional, tradisional, kritis, dan pemilih mendua.

Fungsi dan peran segmentating
Orientasi pasar sangat tergantung pada segmentasi yang merupakan aktivitas seperti deteksi,   evaluasi dan pemilihan kelompok yang memiliki kesamaan karakterisutik sehingga memungkinkan untuk mendesain suatu strategi yang sesuai dengan karakteristik tersebut (Francisco, 1996). Segmentasi perlu dilakukan untuk memudahkan partai politik dalam menganalisis perilaku masyarakat, mengingat masyarakat terdiri dari pelbagai kelompok yang memiliki latar belakang dan karakteristik berbeda. Partai politik harus memahami dengan siapa mereka berkomunikasi.
Selain itu, segmentasi sangat diperlukan untuk menyusun program kerja partai, terutama cara berkomunikasi dan membangun interaksi dengan masyarakat. Tanpa segmentasi, partai politik akan kesulitan dalam penyusunan pesan politik, program kerja, kampanye politik, sosialisasi, dan produk politik.
Dengan mengimplementasikan segmentasi berarti partai politik menggunakan pendekatan politik yang berbasis informasi (information-based). Di sini partai politik mencari, menyerap dan mengolah informasi tentang kondisi  yang ada dalam masyarakat. Dalam setiap organisasi partai politik perlu dibuat divisi analisi informasi. Kegiatan information-intelligent dapat dilakukan oleh pihak-pihak di luar partai sebagai lembaga riset independen. Tetapi, analisis harus dilakukan oleh partai politiknya sendiri, karena proses analisi akan melibatkan ideologi atau sistem nilai partai tersebut.
Menurut Nursal, ada beberapa dasar atau kategori segementasi yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi kelompok pemilih, antara lain:
1.      Segmentasi agama
Segmentating berdasarkan agama hingga saat ini masih relevan untuk memahami karakteristik pemilih, terlebih dengan bermunculannya kembali partai-partai berasas agama pasca reformasi 1998. Meskipun tidak semua pemeluk Islam akan memilih partai Islam, namu dengan persentase penganut agama Islam yang mayoritas, maka isu-isu terkait dengan agama Islam dan pemeluknya menjadi komoditas politik yang berpengaruh. Artinya, jumlah pemeluk agama Islam yang sangat besar merupakan potensi konstituen yang juga besar bagi kontestan pemilu.
2.      Segmentasi gender
Segmentating pemilih berdasarkan gender, laki-laki dan perempuan, juga sangat penting untuk dilakukan. Jumlah pemilih perempuan yang lebih banyak daripada pemilih laki-laki menjadikan perempuan sebagai segmen pemilih yang harus diperhatikan dan diperhitungkan. Apalagi dengan semakin meluasnya perspektif gender dalam kebijakan publik dan pembangunan, tuntutan dunia internasional terhadap pemberdayaan perempuan juga semakin tinggi. Bahkan undang-undang Pemilu 2003 mengatur tentang kuota 30 persen caleg perempuan untuk mengakomodir kebutuhan dan kepentingan perempuan. Meskipun secara substansial masih menjadi perdebatan pro dan kontra, namun pencantuman dalam undang-undang pemilu berupa anjuran bagi partai politik peserta pemilu untuk mempertimbangkan keterwakilan 30 persen caleg perempuan menguatkan bahwa segmentating berdasarkan gender menjadi hal yang penting untuk identifikasi karakteristik pemilih.
Melalui strategi kuota ini diharapkan kepentingan perempuan lebih terwakili, yaitu melalui representasi perempuan dalam politik dan pemerintahan dengan penetapan jumlah atau prosentase tertentu. Dengan pemberian jatah kursi terhadap perempuan di parlemen, setidaknya secara kuantitas kaum perempuan terrepresentasikan. Kuota menempatkan beban rekrutmen tidak pada perempuan secara individual, tetapi pada pengontrolan proses rekrutmen, dimana substansi dari kuota adalah merekrut perempuan untuk masuk dalam posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak termarginalisasi dalam kehidupan politik. Namun demikian, muncul pula pendapat yang kontra terhadap strategi kuota. Mereka menganggap bahwa keterwakilan perempuan di parlemen justru kontra produktif terhadap nilai-nilai demokrasi dan upaya pemberdayaan politik perempuan. Bagi kelompok yang kontra, kuota tidak bisa dianggap sebagai ukuran untuk merepresentasikan kepentingan perempuan di parlemen, karena belum tentu perempuan yang duduk di parlemen memiliki gender awareness (kepedulian terhadap permasalahan perempuan dengan perspektif gender). Sehingga hal yang terpenting bukanlah kuota, melainkan gender awareness dari para anggota parlemen untuk dapat mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan perempuan, dan lebih jauh lagi membuat kebijakan yang berperspektif gender atau adil gender baik bagi laki-laki maupun perempuan.
1.      Segmentasi usia
Karakteristik pemilih juga bisa dilihat berdasarkan kelompok usia, karena setiap kelompok usia memiliki pandangan hidup, kebutuhan, dan perilaku yang berbeda. Rhenald Kasali membagi segmentasi usia ke dalam lima kelompok usia, yaitu: masa transisi (usia 17-23 tahun), masa pembentukan keluarga (24-30 tahun), masa peningkatan parir dan pekerjaan (usia 30-40 tahun), masa emapanan (usia 41-50 tahun), dan masa persiapan pensiun (usia 51-65 tahun). Dalam pemasaran politik, kelompok usia 17-23 tahun menjadi salah satu kelompok usia yang penting bagi perolehan suara, karena mereka yang ada dalam kelompok ini merupakan pemilih pemula.
2.      Segmentasi geografis
Segmentating geografis dalam politik sering dilakukan berkaitan dengan daerah basis dukungan. Untuk kasus Indonesia bisa saja segmentating geografis didasarkan pada pulau-pulau besar, atau provinsi, kabupaten, kota, kelurahan dan desa yang menjadi daerah basis mayoritas dukungan partai.
3.      Segmentasi perilaku pemilih
Segmentating berdasarkan perilaku pemilihdapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a.       Segmen pemilih rasional, kelompok pemilih yang memfokuskan perhatiannya pada isu dan kebijakan kontestan pemilu dalam menentukan pilihan politiknya.
b.      Segmen pemilih emosional, kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh perasaan-perasaan tertentu terhadap kandidat dalam menentukan pilihan politiknya.
c.       Segmen pemilih sosial, kelompok pemilih yang mengasosiasikan contestan pemilu dengan kelompok-kelompok social tertentu dalam menentukan pilihan politiknya.
d.      Segmen pemilih situasional, kelompok pemilih yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sifatnya situasional menjelang pemilu dalam menentukan pilihan politiknya.

  1. Targeting
Setelah segmentating dilakukan dan menghasilkan pemetaan karakteristik atau profil pemilih, tahap selanjutnya adalah melakukan targeting. Ada beberapa langkah dalam targeting: Pertama, membuat standar dan acuan pengukuran masing-masing segmen politik. Kedua, memilih target dari dari segmen yang ada. Tidak semua segmen pemilih dijadikan target pemasaran politik, karena keterbatasan sumber daya partai. Pertimbangan memilih segmen mana yang akan dijadikan target ditentukan oleh dua hal, yaitu: Pertama, efek langsung dari segmen politiknya yaitu perolehan suara dalam pemilu. Kedua, efek pengganda (multiplier effect) dengan ikutnya segmen tersebut dalam memperbesar perolehan suara. Dalam istilah politik dikenal konsep vote getter yang menunjuk pada individu berpengaruh atau kelompok berpengaruh yang bisa memperngaruhi perilaku memilih individu atau anggota kelompoknya.
  1. Positioning
Tahap selanjutnya adalah melakukan positioning untuk setiap target pemilih. Antara segmentasi dengan positioning adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Segmentasi sangat dibutuhkan untuk dapat mengidentifikasi karakteristik yang muncul di setiap kelompok masyarakat. Sementara positioning  adalah upaya untuk menempatkan image dan produk politik yang sesuai dengan masing-masing kelompok masyarakat. Positioning menyangkut produk politik yang ditawarkan, pesan politik yang akan disampaikan, program kerja, dan image yang ingin dimunculkan akan membantu penciptaan identitas politik bagi partai maupun anggota partai. Kesan negatif atau positif terhadap partai dan anggotanya akan sangat tergantung pada seberapa bagus positioning yang dilakukan.
Positioning merupakan strategi komunikasi untuk memasuki otak pemilih agar partai politik atau kandidat mengandung arti tertentu yang mencerminkan keunggulannya terhadap pesaing dalam bentuk hubungan asosiatif.
Positioning dalam terminologi Manajemen Pemasaran didefinisikan sebagai semua aktivitas yang dimaksudkan untuk menenamkan kesan di benak konsumen agar mereka bisa membedakan produk yang dihasilkan oleh produsen tertentu dengan produk yang dihasilkan oleh produsen lain. Ketika konsep ini dibawa ke dalam terminologi pemasaran partai politik, maka partai politik harus mampu menempatkan produk politik mereka (policy, person, party, presentation) dan image politik dalam benak masyarakat. Untuk dapat tertanam dalam benak masyarakat, maka produk politik dan image politik tersebut harus berbeda dengan yang lain. Positioning dilakukan berdasarkan analisa faktor internal dan eksternal dari hasil riset atau polling.
Strategi positioning politik merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh partai politik, karena: Pertama, positioning akan membantu pemilih dalam menentukan siapa dan partai mana yang akan dipilih. Kejelasan positioning akan memudahkan pemilih untuk mengidentifikasi suatu partai sekaligus membedakannya dengan partai lain. Kedua, positioning yang jelas akan membantu anggota partai dalam membentuk identitas mereka dan berperilaku sebagaimana positioning yang dibentuk partai. Ketiga, positioning yang jelas juga akan membantu penyusunan strategi pendekatan dan kampanye mereka pada masyarakat. Keempat, positioning membantu partai dalam mengarahkan jenis sumberdaya politik apa yang dibutuhkan.

B.     Bauran produk politik
Langkah berikutnya setelah positioning adalah membuat dan menyusun marketing mix yang sesuai dengan masing-masing target. Nursal menjabarkan  positioning partai dalam bauran produk politik (marketing mix) yang meliputi 4P:
1.      Policy
Policy atau kebijakan merupakan tawaran program kerja bila kelak terpilih. Policy  merupakan solusi yang ditawarkan partai atau kandidat terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat  berdasarkan isu-isu yang dianggap penting oleh pemilih. Policy yang efektif mengandung unsur: menarik perhatian pemilih dengan pilihan kata, pengucapan, atau visual yang menarik (attractive), substansinya mudah dipahami sehingga mudah tertanam dalam pikiran pemilih (absorbed), memiliki perbedaan yang istimewa dibandingkan dengan kontestan pemilu yang lain yang akan menjadi ciri khas (attributable).

2.      Person
Person atau figur menunjuk pada kandidat eksekutif atau legislatif yang akan dipilih dalam pemilu. Kualitas calon yang diajukan harus memperhatikan: kualitas instrumental (kompetensi manajerial dan kompetensi fungsional), dimensi simbolis (prinsip-prinsip dasar yang dianut, aura emosional, aura sosial, dan aura inspirasional), fenotipe optis (pesona fisik, kesehatan dan kebugaran, dan gaya penampilan).
Dalam perspektif yang hampir sama, Antar Venus menyatakan bahwa kredibilitas kandidat merupakan salah satu kunci untuk mendapatkan kepercayaan khalayak yang dapat dilihat dari beberapa aspek sebagai berikut:

ASPEK KREDIBILITAS
KARAKTERISTIK
Keterpercayaan
(Trustworthines)
Kaitannya dengan moralitas (kejujuran, adil dan bijaksana, perilaku terpuji, kepedulian sosial, integritas pribadi)
Keahlian
(Expertise)
Kaitannya dengan kemampuan (tingkat pendidikan, kecerdasan, keterampilan, pengalaman, wawasan)
Daya Tarik
Daya tarik fisik maupun daya tarik psikologis
Faktor Pendukung Lain
§  Extroversion
§  Composure
§  Kharisma
§  Sifat ekstrovert (terbuka, aktif, berani, energik, tegas, progresif).
§  Sifat ketenangan (percaya diri, mampu menyampaikan gagasannya dengan tenang dan tepat, tidak mudah emosi, menghargai lawan bicara).
§  Kualitas pribadi seseorang yang memikat dan mampu mengikat perhatian orang-orang di sekitarnya

3.      Party
Partai politik sebagai kontestan pemilu sekaligus pendukung kandidat di satu sisi merupakan produk politik karena akan membentuk makna politik bagi pemilih, namun di sisi lain juga bisa menghasilkan produk politik berupa kebijakan atau policy. Partai politik sebagai substansi produk politik yang meliputi unsur: identitas utama, identitas astetis, aset reputasi.
4.      Presentation
Presentasi adalah penyajian produk politik (kebijakan, figur kandidat, dan partai) yang bertujuan untuk menyampaikan pesan-pesan politik. Dalam pemasaran politik presentasi juga merupakan bagian dari produk politik karena presentasi yang berbeda akan menghasilkan makna politis yang berbeda. Presentasi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu (simbol linguistik, simbol optik, simbol akuistik) diperlukan agar pesan atau produk politik yang ingin disampaikan bisa menarik perhatian, mudah diterima dan dipahami oleh pemilih.

C.    Proses Delivery Produk Politik
Produk politik (4P) di atas harus disampaikan kepada pasar pemilih yang terdiri dari media massa dan influencer groups sebagai pasar perantara dan pemilih sebagai pasar tujuan akhir. Menurut Nursal, ada tujuh alat atau media untuk menyampaikan produk politik kepada pasar, yaitu:
1.      Iklan
Penyampaian pesan atau produk politik melalui media massa tertentu oleh kontestan dengan sejumlah bayaran kepada media massa. Iklan juga bisa dilakukan dengan menggunakan brosur, poster, booklet, pamflet, leaflet, bendera, spanduk, billboard, dan lain-lain.
2.      Direct marketing
Penyampaian pesan atau produk politik secara langsung kepada pemilih menggunakan media seperti surat, e-mail, dan telepon. Ciri direct marketing adalah sifatnya yang costumize.
3.      Special event
Event khusus yang diadakan untuk mengumpulkan pemilih sebagai ajang untuk menyampaikan pesan atau produk politik.
4.      Personal contact
Penyampaian pesan atau produk politik dengan cara berinteraksi tatap muka dengan orang-orang tertentu, seperti ramah tamah, lobby politik, diskusi, presentasi personal, dan lain-lain.


5.      Public relation
Berbagai program yang didesain supaya pemilih, media massa, dan influencer  mempercayai produk politik kontestan.
6.      Merchandise
Barang-barang berupa cinderamata yang dilekati dengan pesan politik atau simbol-simbol produk politik untuk diberikan kepada pihak-pihak tertentu, seperti kaos, sticker, topi, dan lain-lain yang berfungsi sebagai pengingat bagi para pemilih, media massa, dan influencer.
7.      Pos politik
Berupa bangunan fisik yang menjadi pusat atau pos kegiatan partai atau kontestan pemilu yang bisa digunakan untuk berbagai pertemuan, seperti kantor, posko, dan lain-lain.
Ketujuh alat atau media penyampai produk politik tersebut dapat diimplementasikan dalam tiga strategi, yaitu:
1.      Push marketing, penyampaian produk politik secara langsung kepada pemilih. Hampir semua alat dari ketujuh alat pemasaran politik dapat digunakan untuk pendekatan push marketing, namun yang paling efektif adalah kontak personal, public relation, direct marketing, dan special event.
2.      Pull marketing, penyampaian produk politik dengan memanfaatkan media massa. Pemanfaatan media bisa dengan membayar atau tanpa membayar. Penyampaian produk politik melalui media massa tanpa membayar biasanya terkait dengan kebutuhan media massa terhadap berita, yang berarti bisa berita positif maupun negatif dari kontestan.
3.      Pass marketing, penyampaian produk politik kepada influencer, baik perorangan maupun kelompok.






REFRENSI

Eka, Dian Rahmawati. 2009. Diktat Komunikasi Politik. Yogyakarta: Lab. IP UMY.
Firmanzah. 2008. Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPRD, Presiden. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar